Memuat...

Jenis dan Tipe Perpustakaan

Jenis-jenis Perpustakaan

Pada hakikatnya semua jenis perpustakaan merupakan bagian dari sistem pendidikan dan informasi masyarakat. Dengan demikian, perpustakaan bukan saja berperan sebagai penyedia informasi, tetapi juga terlibat aktif dalam upaya menyadarkan masyarakat akan kebutuhan informasi.

Dengan adanya berbagai jenis masyarakat yang harus dilayani oleh perpustakaan, serta sejarah, tujuan, anggota, organisasi, dan kegiatan yang berlainan maka timbullah berbagai jenis perpustakaan. Faktor-faktor yang memengaruhi timbulnya berbagai jenis perpustakaan, antara lain berikut ini.
  1. Munculnya berbagai jenis media informasi, seperti media tercetak (buku, majalah, laporan, surat kabar) dan media grafis/elektronik, seperti film, foto, microfilm, dan video. Dengan adanya berbagai macam media ini menimbulkan berbagai persepsi bagi pustakawan, yang mengakibatkan timbulnya berbagai jenis perpustakaan. 
  2. Adanya keperluan informasi yang dibutuhkan berbagai jenis/kelompok pembaca. Dalam masyarakat terdapat berbagai kelompok pembaca, misalnya anak bawah lima tahun, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, remaja putus sekolah, dan sejenisnya. Kebutuhan bahan bacaan mereka pun berbeda sehingga tumbuhlah perpustakaan yang mengkhususkan diri untuk kelompok pembaca tertentu. 
  3. Adanya berbagai spesialisasi subjek, termasuk ruang lingkup subjek serta perincian subjek yang bersangkutan. Dalam kenyataan sehari-hari, pembaca mempunyai minat serta keperluan informasi yang berbeda derajat kedalamannya walaupun subjeknya sama. Kebutuhan informasi mengenai suatu subjek yang berbeda-beda intensitas intelektualnya maka akan tumbuh berbagai jenis perpustakaan dengan koleksi yang sesuai dengan keperluan dan tingkat intelektualitas pembaca. 
  4. Adanya ledakan informasi, yakni pertumbuhan literatur yang cepat dan sangat banyak sehingga tidak memungkinkan sebuah perpustakaan memiliki semua terbitan yang ada. Disamping itu, pertumbuhan subjek ilmu pengetahuan yang artinya sering terjadi fusi berbagai subjek menjadi satu atau sebaliknya suatu subjek memunculkan subjek lain memunculkan berbagai perpustakaan yang mengkhususkan diri pada subjek tertentu.
Selain berbagai faktor tersebut ada juga beberapa aspek yang memengaruhi munculnya berbagai jenis perpustakaan. Aspek-aspek tersebut adalah berikut ini.
  1. Tugas dan fungsi perpustakaan.
  2. Pemakai atau pengguna perpustakaan.
  3. Koleksi perpustakaan.
Jenis perpustakaan yang muncul dari berbagai aspek dan faktor tersebut adalah sebagai berikut.

1. Perpustakaan Nasional

Sampai dengan dikeluarkannya UU No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan belum ada kesepakatan bersama mengenai definisi perpustakaan nasional, yang ada hanya kesepakatan mengenai fungsinya. Fungsi utama perpustakaan nasional ialah menyimpan semua bahan pustaka tercetak dan terekam yang diterbitkan di suatu negara. Perpustakaan nasional merupakan perpustakaan utama dan paling komprehensif yang melayani keperluan informasi dari penduduk suatu negara. Definisi menurut UU No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan menyebutkan bahwa Perpustakaan Nasional adalah lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian, dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara. 

Di Indonesia, Perpustakaan Nasional RI diresmikan tahun 1989, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 11 tahun 1989. Menurut Keppres ini, Perpustakaan Nasional RI mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan pembinaan perpustakaan dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai hasil budaya dan pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Perpustakaan Nasional RI merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugas pokoknya Perpustakaan Nasional RI mempunyai fungsi, sebagai berikut ini.
  1. Membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan mengenai pengembangan, pembinaan, dan pendayagunaan perpustakaan.
  2. Melaksanakan pengembangan tenaga perpustakaan dan kerja sama antara badan/lembaga termasuk perpustakaan didalam maupun diluar negeri.
  3. Melaksanakan pembinaan atas semua jenis perpustakaan, di instansi/lembaga Pemerintah ataupun swasta yang ada di Pusat dan daerah.
  4. Melaksanakan pengumpulan, penyimpanan, dan pengolahan bahan pustaka terbitan dalam dan luar negeri.
  5. Melaksanakan jasa perpustakaan, perawatan dan pelestarian bahan pustaka.
  6. Melaksanakan penyusunan naskah bibliografi nasional dan katalog induk nasional.
  7. Melaksanakan penyusunan bahan rujukan berupa indeks, bibliografi subjek, abstrak, dan penyusunan perangkat lunak bibliografi.
  8. Melaksanakan jasa koleksi rujukan dan naskah.
  9. Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Untuk lebih mendalami perkembangan Perpustakaan Nasional, khususnya di Indonesia akan dibicarakan pada kegiatan belajar tersendiri.
[next]

2. Perpustakaan Umum

Perpustakaan Umum mempunyai tugas melayani masyarakat umum atau semua anggota lapisan masyarakat yang memerlukan jasa perpustakaan dan informasi. Ciri-ciri perpustakaan umum adalah terbuka untuk umum, dibiayai oleh dana umum, dan jasa yang diberikan pada hakikatnya bersifat cuma-cuma. 

Perpustakaan amat penting bagi kehidupan kultural dan kecerdasan bangsa karena perpustakaan umum merupakan gerbang menuju pengetahuan, mendukung perorangan, dan kelompok untuk melakukan kegiatan belajar seumur hidup, pengambilan keputusan mandiri dan pembangunan budaya (Blasius, 2002). Demikian pentingnya peranan perpustakaan umum bagi kecerdasan bangsa sehingga Unesco mengeluarkan manifesto perpustakaan umum pada tahun 1972. Adapun Manifesto Perpustakaan Umum Unesco, (Sulistyo-Basuki, 1991) menyatakan bahwa perpustakaan umum mempunyai 4 tujuan utama sebagai berikut.
  1. Memberikan kesempatan bagi umum untuk membaca bahan pustaka yang dapat membantu meningkatkan mereka kearah kehidupan yang lebih baik.
  2. Menyediakan sumber informasi yang cepat, tepat, dan murah bagi masyarakat, terutama informasi mengenai topik yang berguna dan sedang hangat dibicarakan dalam kalangan masyarakat (informasi mutakhir).
  3. Membantu warga untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga yang bersangkutan akan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya, bantuan yang diberikan adalah dengan menyediakan bahan pustaka yang sesuai. Fungsi ini disebut sebagai fungsi pendidikan perpustakaan umum, lebih tepat disebut sebagai pendidikan berkesinambungan ataupun pendidikan seumur hidup. Pendidikan sejenis ini hanya dapat dilakukan oleh perpustakaan umum karena perpustakaan umum merupakan satu-satunya pranata kepustakawanan yang terbuka bagi umum. Perpustakaan nasional juga terbuka untuk umum, namun untuk memanfaatkannya tidak selalu terbuka langsung bagi perorangan, adakalanya harus melalui perpustakaan lain.
  4. Bertindak selaku agen kultural, artinya perpustakaan umum merupakan pusat utama kehidupan budaya bagi masyarakat sekitarnya. Perpustakaan umum bertugas menumbuhkan apresiasi budaya masyarakat sekitarnya dengan cara menyelenggarakan pameran budaya, ceramah, pemutaran film, dan penyediaan informasi yang dapat meningkatkan seikutsertaan, kegemaran dan apresiasi masyarakat terhadap segala bentuk seni budaya.
Selain beberapa tujuan yang harus dicapai seperti tersebut di atas, Perpustakaan Umum juga mempunyai misi agar tidak ditinggalkan oleh anggotanya. Menurut Blasius (2002) misi Perpustakaan Umum adalah berikut ini.
  1. Menciptakan dan menguatkan kebiasaan membaca sejak dini.
  2. Mendukung pelaksanaan pendidikan formal dan perorangan yang belajar mandiri.
  3. Memberikan peluang bagi pengembangan kreativitas.
  4. Merangsang imajinasi dan kreativitas kaum muda.
  5. Mempromosikan warisan budaya, penemuan ilmiah, dan inovasi.
  6. Menyediakan akses pada ekspresi budaya.
  7. Membina dialog antarbudaya dan mendukung keanekaragaman budaya.
  8. Membantu budaya lisan.
  9. Menjamin akses atas semua jenis informasi ke masyarakat bagi semua warga.
  10. Menyediakan cukup informasi bagi perusahaan, asosiasi, dan kelompok pemerhati setempat.
  11. Memberikan kemudahan dalam pengembangan keterampilan dan ketidakbutaan informasi dan komputer.
  12. Membantu dan aktif dalam kegiatan pemberantasan buta huruf pada semua tingkatan.
Perpustakaan Umum di Indonesia banyak didirikan di Daerah Tingkat II (kabupaten), kecamatan, dan desa. Perpustakaan rumah ibadah dapat dikelompokkan pula sebagai perpustakaan umum karena tugas dan fungsinya pada hakikatnya adalah melayani umum sesuai dengan agama yang dianut masyarakat setempat. Dilihat dari koleksinya, perpustakaan umum dan perpustakaan rumah ibadah adalah menghimpun berbagai jenis bahan pustaka yang telah melewati proses seleksi terlebih dulu agar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan informasi masyarakat pemakai yang dilayani.

Departemen yang bertanggung jawab pada pendirian dan pengelolaan perpustakaan umum adalah Departemen Dalam Negeri dan jajarannya di daerah, sedangkan untuk perpustakaan rumah ibadah adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab jajaran Departemen Agama. Dalam hal pembinaan, perpustakaan umum dan perpustakaan rumah ibadah adalah menjadi tugas Perpustakaan Nasional RI.

Lebih jelasnya, sesuai amanat UU RI No. 43 tahun 2007 dinyatakan bahwa Perpustakaan Umum diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat,

Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan perpustakaan umum daerah yang koleksinya mendukung pelestarian hasil budaya daerah masing-masing dan memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Perpustakaan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan mengembangkan sistem layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Masyarakat dapat menyelenggarakan perpustakaan umum untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota melaksanakan layanan perpustakaan keliling bagi daerah yang belum terjangkau oleh layanan perpustakaan menetap.
[next]

3. Perpustakaan Sekolah 

Di Indonesia dasar pembentukan perpustakaan sekolah adalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, yang isinya menyatakan bahwa setiap sekolah harus menyediakan sumber belajar (perpustakaan). Perpustakaan merupakan unit pelayanan di dalam lembaga yang kehadirannya hanya dapat dibenarkan jika mampu membantu pencapaian pengembangan tujuan-tujuan sekolah yang bersangkutan. Penekanan tujuan keberadaan perpustakaan sekolah adalah pada aspek edukatif dan rekreatif (cultural).

Keberadaan perpustakaan sekolah sampai pada saat ini kondisinya masih memprihatinkan, bukan saja pada segi fisiknya (gedung atau ruangan), tetapi juga dari segi sistem pengelolaan, sumber daya manusia, koleksi, dan alat/perlengkapan fisik yang lain. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bidang Perpustakaan Sekolah, Pusat Pembinaan Perpustakaan Diknas terhadap keberadaan perpustakaan sekolah, menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
  1. Banyak sekolah yang belum menyelenggarakan perpustakaan.
  2. Perpustakaan sekolah yang ada kebanyakan belum menyelenggarakan layanan secara baik, kurang membantu proses belajar mengajar dan sering berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku belaka.
  3. Ada sejumlah kecil perpustakaan sekolah yang kondisinya cukup baik, tetapi belum terintegrasi dengan kegiatan belajar mengajar.
  4. Keberadaan dan kegiatan perpustakaan sekolah sangat tergantung dari sikap kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan dalam segala hal.
  5. Kebanyakan perpustakaan sekolah tidak memiliki pustakawan (tenaga pengelola tetap), sering hanya dikelola oleh seorang guru yang setiap saat dapat dimutasikan.
  6. Pekerjaan di perpustakaan dianggap kurang terhormat sehingga kurang disukai, bahkan dianggap sebagai pekerja kelas dua. Oleh karena itu, ada perpustakaan yang pengelolanya diserahkan kepada petugas tata usaha sebagai tugas sampingan.
  7. Koleksi perpustakaan sekolah umumnya tidak bermutu dan belum terarah sesuai dengan tujuannya.
  8. Layanan perpustakaan sekolah belum dilaksanakan dengan baik karena kurangnya SDM yang terdidik dalam bidang perpustakaan.
  9. Dana yang dialokasikan untuk pembinaan dan pengembangan perpustakaan sangat terbatas.
  10. Banyak sekolah tidak mempunyai ruangan khusus untuk perpustakaan.
Dilihat dari aspek koleksinya, banyak perpustakaan sekolah yang hanya memiliki buku paket bidang studi yang merupakan buku ajar atau buku teks yang dipakai dalam pengajaran. Koleksi lain yang berorientasi pada aspek rekreatif (cultural) sangat kurang, bahkan sering tidak ada. Padahal, koleksi penunjang, seperti buku-buku fiksi sangat penting, khususnya untuk meningkatkan daya imajinasi dan menumbuhkan motivasi membaca. Disamping itu, koleksi penunjang tersebut sangat penting untuk pengembangan aspek peserta didik.

Ironisnya lagi, ada sementara pendapat dari kalangan pendidik (guru) yang masih berpegang bahwa tanpa perpustakaan sekolah, proses belajar dan mengajar berjalan lancar. Mereka kurang berupaya agar anak didik mempunyai kebiasaan membaca sehingga dapat memperlancar dan mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia dimasa yang akan datang. Banyak dikalangan guru yang hanya mengejar aspek nilai yang bersifat normatif pada setiap bidang studi yang diajarkan. Jika hal-hal seperti itu dipertahankan, jaminan peningkatan hasil dari pendidikan dikalangan sekolah sulit diharapkan.

Perpustakaan sekolah tidak boleh menyimpang dari tugas dan tujuan sekolah sebagai lembaga induknya. Beberapa fungsi perpustakaan sekolah adalah sebagai berikut.
  1. Sebagai sumber kegiatan belajar mengajar. Perpustakaan sekolah berfungsi membantu program pendidikan dan pengajaran sesuai dengan tujuan yang terdapat didalam kurikulum. Mengembangkan kemampuan anak menggunakan sumber informasi. Bagi guru, perpustakaan sekolah merupakan tempat untuk membantu guru mengajar dan tempat bagi guru untuk memperkaya pengetahuan.
  2. Membantu peserta didik memperjelas dan memperluas pengetahuan pada setiap bidang studi. Keberadaan dan tujuan perpustakaan sekolah harus terintegrasi dengan seluruh kegiatan belajar dan mengajar. Oleh karena itu, perpustakaan sekolah dapat dijadikan sebagai laboratorium ringan yang sesuai dengan tujuan yang terdapat didalam kurikulum.
  3. Mengembangkan minat dan kebiasaan membaca yang menuju kebiasaan belajar mandiri.
  4. Membantu anak untuk mengembangkan bakat, minat, dan kegemarannya.
  5. Membiasakan anak untuk mencari informasi di perpustakaan. Kemahiran anak mencari informasi di perpustakaan akan menolong untuk belajar mandiri dan memperlancar dalam mengikuti pelajaran selanjutnya.
  6. Perpustakaan sekolah merupakan tempat memperoleh bahan rekreasi sehat melalui buku-buku bacaan yang sesuai dengan umur tingkat kecerdasan anak.
  7. Perpustakaan sekolah memperluas kesempatan belajar bagi peserta didik.

Amanat UU RI No. 43 tahun 2007 Bagian Ketiga tentang Perpustakaan Sekolah/Madrasah menyatakan:
  1. Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
  2. Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidik.
  3. Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.
  4. Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta didik pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan.
  5. Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
  6. Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang diluar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
[next]

4. Perpustakaan Perguruan Tinggi 

Perpustakaan perguruan tinggi merupakan unit pelaksana teknis (UPT) perguruan tinggi yang bersama-sama dengan unit lain, turut melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi dengan cara memilih, menghimpun, mengolah, merawat, serta melayangkan sumber informasi kepada lembaga induknya pada khususnya dan masyarakat akademis pada umumnya. Kelima tugas tersebut dilaksanakan dengan tata cara, administrasi, dan organisasi yang berlaku bagi penyelenggaraan sebuah perpustakaan. Perguruan tinggi (PT) di sini meliputi universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik, dan perguruan tinggi lain yang sederajat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dimuat ketentuan mengenai perpustakaan, pada Pasal 27 butir 7 angka 10, Pasal 34 ayat (2); Pasal 55 ayat (1); Pasal 69 ayat (1); Pasal 82 ayat (1); dan Pasal 95 ayat (1), yang pada dasarnya menyatakan bahwa perpustakaan adalah unsur penunjang yang perlu ada pada semua bentuk perguruan tinggi, mulai dari universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik maupun akademi. Perpustakaan perguruan tinggi merupakan unit pelaksana teknis (UPT) yang menunjang pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi.

Dilihat dari konsep manajemen maka perpustakaan Perguruan tinggi sebagian besar memiliki hal-hal berikut ini.
a. Misi (mission).
b. Sasaran (goals).
c. Tujuan (objectives).
d. Kegiatan (activities).
e. Program (programmed).

Misi perpustakaan perguruan tinggi lazimnya sesuai dengan misi perguruan tinggi induknya yang dicantumkan dalam statuta. Bilamana misi perpustakaan tidak dinyatakan secara jelas maka misi perpustakaan perguruan tinggi pada umumnya ialah pendidikan, penelitian, dan informasi. Apabila dilihat dari dasar filosofisnya maka misi perpustakaan perguruan tinggi adalah membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Misi ini, kemudian dijabarkan menjadi sasaran, antara lain berikut ini.
  1. Organisasi dan administrasi yang baik.
  2. Dana yang cukup.
  3. Pengadaan dan pengembangan sumber daya manusia.
  4. Jasa yang baik.
  5. Fasilitas fisik yang memadai.
Tujuan perpustakaan perguruan tinggi adalah berikut ini.

  1. Memenuhi keperluan informasi pengajar dan mahasiswa.
  2. Menyediakan bahan pustaka rujukan pada semua tingkat akademis.
  3. Menyediakan ruangan untuk pemakai.
  4. Menyediakan jasa peminjaman serta menyediakan jasa informasi aktif bagi pemakai.
Dapat pula dikatakan tugas perpustakaan perguruan tinggi ialah berikut ini.
  1. Pemilihan dan pengadaan. 
  2. Pengolahan bahan pustaka.
  3. Pelayanan.
  4. Tata usaha.
Tujuan khusus ini berhubungan dengan setiap sasaran. Kegiatan perpustakaan perguruan tinggi menyangkut jasa yang diberikan, tenaga yang diperlukan, sumber keuangan, dan dari sini baru dikembangkan berbagi program perpustakaan.

Berbagai usaha pembinaan perpustakaan perguruan tinggi telah dilakukan di Indonesia. Pembinaan perpustakaan Perguruan tinggi mulai dilakukan dengan lebih sistematik sejak awal orde baru, dengan memanfaatkan kerja sama luar negeri, termasuk The British Council, The Asia Foundation, USAID, Ford Foundation, NUFFIC, dan sebagainya. Di sisi lain, mulai Pelita I telah pula disediakan dana pembangunan untuk pengadaan buku-buku perpustakaan perguruan tinggi negeri. Selama 5 tahun, Perpustakaan ITB telah dibina oleh The British Council melalui penempatan pustakawan ahli dari Inggris sebagai Kepala Perpustakaan pada awal tahun 1970-an, serta beberapa volunteers dari Inggris. Pada tahun 1993 koleksi perpustakaan British Council yang ada di Bandung dihibahkan pada Perpustakaan ITB. The Asia Foundation telah menyumbangkan ribuan judul kepada berbagai perpustakaan perguruan tinggi, terutama pada tahun 1970-an.

Dalam dana pinjaman Bank Dunia tahun 1988 untuk pendidikan tinggi (7085-IND), telah disusun pengembangan National Higher Education Library Network. Dalam program ini, perpustakaan pada 8 perguruan tinggi (UI, IPB, ITB, Universitas Pendidikan Indonesia, UGM, ISI-Yogyakarta, ITS dan UNAIR) ditunjuk sebagai Pusat Pelayanan Disiplin Ilmu (Pusyandi) yang mengembangkan koleksi serta memberikan layanan dan sarana untuk 12 bidang ilmu, seperti kedokteran, teknologi, pertanian, kelautan, MIPA, ilmu-ilmu sosial, pendidikan, dan ekonomi. Masing-masing Pusyandi dikembangkan untuk mampu memberikan pelayanan kepustakaan maupun informasi lainnya, sedangkan dalam bidang ilmu tertentu diserahkan pada perguruan tinggi lain. Kemampuan ini diwujudkan dalam pengembangan, penyimpanan, pencarian, dan pengiriman data, informasi maupun dokumen diantara anggota jaringan yang dihubungkan dengan sistem UNINET yang juga dikembangkan dengan dana pinjaman ini. Jaringan ini menghubungkan 43 perguruan tinggi negeri melalui pusat komputer masing-masing, yang dihubungkan pula dengan perpustakaan. Dalam program ini juga dikembangkan University Library Technology Centre di Universitas Indonesia, yang melakukan pengembangan, pelatihan, pemodelan, dan memberikan konsultasi dalam pemanfaatan teknologi untuk perpustakaan, terutama melibatkan penggunaan komputer dan sarana komunikasi. Bersamaan dengan hal-hal tersebut, juga dilakukan pengadaan 22.500 judul buku impor, berlangganan 750 judul jurnal ilmiah, dan upaya penerjemahan buku untuk 120 judul.

Program yang dikembangkan dalam waktu 3 tahun tersebut telah dapat mencapai sebagian besar dari sasaran fisiknya, namun biaya operasi penggunaannya pada waktu itu (1991) masih sangat mahal maka pengguna jaringan komunikasi tersebut sangat sedikit.

Upaya mengembangkan ini dilanjutkan dengan dana pinjaman Bank Dunia tahun 1991 (311-IND). Dalam program ini koleksi buku dan jurnal ilmiah terus dikembangkan, disamping meningkatkan penggunaan CD-ROM untuk seluruh perpustakaan perguruan tinggi. Dalam program ini dilakukan pendidikan di luar negeri untuk 30 orang program S2 dan 30 orang pelatihan singkat, serta pendidikan dalam negeri untuk 60 orang program S1, 30 orang program S2, dan 60 orang program Diploma II. Disamping itu, dilakukan juga pelatihan penggunaan komputer untuk perpustakaan pada 60 orang.

Dalam dana-dana pinjaman tersebut pengembangan perguruan tinggi swasta lebih dipusatkan pada pengembangan sarana laboratorium bersama maupun pembinaan dosen. Namun demikian, pelayanan dari Pusyandi tersebut terbuka bagi semua perguruan tinggi dengan prosedur kerja sama yang sederhana.

Dalam UU RI No. 43 tahun 2007 Bagian Keempat tentang Perpustakaan Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa.
  1. Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Perpustakaan.
  2. Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah eksemplarnya, yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3. Perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
  4. Setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk pengembangan perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan guna memenuhi standar nasional pendidikan dan standar nasional perpustakaan.
[next]

5. Perpustakaan Khusus 

Perpustakaan khusus merupakan perpustakaan yang memiliki koleksi pada subjek-subjek khusus. Adapun ciri-ciri perpustakaan khusus diantaranya berikut ini.
  1. Memberi informasi pada badan induknya, dimana perpustakaan itu berada.
  2. Tempatnya di gedung-gedung pusat penelitian, asuransi, agen-agen dan badan usaha yang mengarah ke kegiatan bisnis.
  3. Melayani pemakai khusus pada organisasi induknya.
  4. Cakupan subjeknya terbatas (khusus).
  5. Ukuran perpustakaannya relatif kecil.
  6. Jumlah koleksinya relatif kecil.
Biasanya perpustakaan khusus berfungsi juga sebagai pusat informasi, yaitu memiliki hal-hal berikut ini.
  1. Informasinya luas, baik yang standar maupun yang tidak standar.
  2. Pengawasannya lebih mudah dalam bidang subjeknya serta lebih efisien.
  3. Peranannya lebih besar dalam laporan usaha penerbitan untuk review dan penelitian.
  4. Terdapat spesialisasi subjek.
  5. Teknik pelayanannya mengembangkan teknologi dan dokumentasi dengan komputer.
  6. Merupakan pusat yang bertanggung jawab pada semua jasa informasi sistem maupun subsistem.
Faktor-faktor yang mendorong timbulnya perpustakaan khusus diantaranya berdasarkan kebutuhan jasa informasi dan kemampuan pemenuhan kebutuhan jasa informasi yang dihasilkan. Adapun jenis-jenis jasa yang dikerjakan perpustakaan khusus bervariasi tergantung dari organisasinya, selain itu tergantung juga pada dana, staf pelaksana, peralatan, serta tempat yang digunakan untuk perpustakaan. Kegiatan penting yang dilaksanakan dalam perpustakaan khusus untuk menunjang terlaksananya jasa yang ditawarkan, antara lain berikut ini.
  1. Pengadaan. Sumber untuk pengadaan bahan pustaka adalah bahan yang telah dimiliki atau dihasilkan oleh organisasi induknya dan materi baru dengan cara membeli, hadiah/tukar-menukar.
  2. Organisasi bahan pustaka. Setelah publikasi diadakan dan diseleksi oleh perpustakaan. Tahap berikutnya adalah pengorganisasian, yaitu penentuan sistem simpan dan temu kembali informasi. Dokumen disusun dalam urutan pengorganisasian yang dapat dilakukan dengan mudah dan dapat dicari/ditemukan kembali dengan cepat dan tepat.
  3. Pemrosesan (pengolahan) informasi dan materi. Hal ini meliputi kegiatan identifikasi dan catatan kepemilikan, penyusunan koleksi sesuai bahan pustaka dan isi/subjek dokumen dengan melakukan analisis subjek dan klasifikasi untuk pengkatalogan subjek, serta pengindeksan, yaitu menyiapkan pangkalan data yang berisi rujukan topik-topik, nama dan halaman penunjuk, dimana topik itu dimuat pada buku atau terbitan berseri, laporan, kertas kerja maupun jenis pustaka yang lain.
  4. Diseminasi informasi dan jasa pemakai. Fungsi informasi suatu perpustakaan khusus merupakan ciri utama yang membedakan perpustakaan khusus dengan perpustakaan yang lain. Usaha utama perpustakaan dan pustakawan perpustakaan khusus adalah menyediakan informasi dengan cepat dan mudah kepada staf di sebuah organisasi, dimana perpustakaan tersebut bernaung, dan memberi jawaban pertanyaan khusus (spesifik). Kebutuhan informasi untuk staf/karyawan berkisar pada kebutuhan untuk pengembangan organisasi dan kariernya serta hal-hal yang tidak dikenalnya. Nilai sebuah perpustakaan khusus pustakawannya terletak pada nilai kepuasan dalam melayani kebutuhan informasi bagi pemakai.

Didalam UU RI No. 43 tahun 2007 Bagian Kelima tentang Perpustakaan Khusus menyatakan bahwa.
  1. Perpustakaan khusus menyediakan bahan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pemustaka di lingkungannya.
  2. Perpustakaan khusus memberikan layanan kepada pemustaka di lingkungannya dan secara terbatas memberikan layanan kepada pemustaka di luar lingkungannya.
  3. Perpustakaan khusus diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan.
  4. Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan berupa pembinaan teknis, pengelolaan, dan/atau pengembangan perpustakaan kepada perpustakaan khusus.
[next]

TIPE-TIPE PERPUSTAKAAN

Tujuan utama sebuah perpustakaan adalah menyediakan layanan akses informasi bagi pemakai. Keberadaan perpustakaan sangat bermanfaat, tetapi sering kali dihadapkan pada permasalahan dalam hal akuisisi (pengadaan), penyimpanan, dan penanganan dokumen maupun berkas-berkas sesuai kebutuhan. Dengan perkembangan perpustakaan dari model perpustakaan yang sederhana sampai seperti dewasa ini, hambatan yang dialami adalah munculnya pemakaian teknologi informasi sebagai sarana penyedia layanan sehingga perubahan ini sangat berpengaruh pada metode akuisisi, penyimpanan, pengiriman atau prosedur penelusuran. Untuk mencapai tujuan agar perpustakaan tidak ketinggalan jauh dengan adanya perkembangan di bidang teknologi informasi, upaya dalam hal perbaikan teknologi harus terus-menerus dilakukan agar seluruh kegiatan pengelolaan perpustakaan dapat bekerja dengan lebih cepat, akhirnya dapat menjangkau pemakai yang lebih banyak.

Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang berimbas juga ke pengelolaan perpustakaan, mengakibatkan adanya paradigma baru dalam bidang perpustakaan. Perubahan tersebut sangat terlihat pada kinerja dan layanan perpustakaan. Perubahan-perubahan paradigma dalam kinerja dan layanan perpustakaan menurut Lasa (2002), antara lain adalah:

  1. Perubahan orientasi pustakawan dari penjaga koleksi menjadi penyedia informasi.
  2. Perubahan pengguna yang awalnya hanya membutuhkan satu media menjadi multimedia.
  3. Dari sisi pengolahan koleksi yang tadinya diolah oleh perpustakaan sendiri beralih ke sistem pengolahan koleksi secara global.
  4. Masyarakat biasanya yang mendatangi perpustakaan. Dengan adanya perubahan, perpustakaan harus lebih aktif untuk mendatangi pengguna, apabila menginginkan perpustakaannya tetap dikunjungi oleh pengguna.
  5. Layanan perpustakaan secara lokal bersifat tradisional beralih menjadi layanan global dan otonomi.
Perkembangan teknologi yang sudah mengimbas kemana-mana, termasuk perpustakaan, mengakibatkan skala operasional juga meningkat dan otomatis perbaikan kearah yang lebih teknis harus dilakukan sehingga muncullah tipe perpustakaan yang berbasis pada penggunaan teknologi.

Sebelum berbicara mengenai tipe-tipe perpustakaan berbasis teknologi, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu perkembangan teknologi dalam bidang record informasi (penyimpanan informasi) mulai dari awal. Perkembangan teknologi tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan media penyimpanan informasi yang ada di perpustakaan. Sebelum teknologi mesin cetak ditemukan oleh Guttenberg, media penyimpanan informasi berupa batu, kayu, kulit domba, dan sebagainya. Setelah ditemukan mesin cetak, media penyimpanan berubah menjadi berupa kertas. Era ditemukannya mesin cetak, menyebabkan produksi informasi menjadi meningkat tajam, diikuti pula dengan peningkatan jumlah pemakai. Oleh karena derajat keasamannya tinggi maka media penyimpanan informasi dari kertas dianggap tidak mampu bertahan lama, kemudian muncul teknologi penyimpanan lain dengan media film (plastik). Media penyimpanan film berkembang sehingga muncul bentuk mikro.

Perkembangan media penyimpan tidak hanya sampai dengan bentuk film maupun mikro, bentuk lebih ringkas muncul seiring dengan munculnya teknologi komputer. Bentuk ini ditandai dengan munculnya media penyimpan elektronik dalam bentuk disket, kemudian diikuti dengan munculnya CD-ROM. Perkembangan media penyimpanan tersebut pada akhirnya berpengaruh pada kegiatan perpustakaan.

Munculnya teknologi komputer (informasi) yang mampu mempersingkat dan mempermudah sistem kerja manusia juga mulai dikenal dalam lingkungan perpustakaan. Keuntungan penggunaan komputer ini diharapkan mampu menggantikan kegiatan-kegiatan perpustakaan yang bersifat repetitif (maksudnya kegiatan yang dilakukan berulang-ulang). Komputer juga bermanfaat sebagai alat komunikasi dan pertukaran informasi yang semakin dipermudah dengan berkembangnya teknologi jaringan komputer. Teknologi jaringan lebih mempermudah pemakai untuk mengetahui informasi yang dimiliki oleh perpustakaan di tempat lain sehingga terjalin komunikasi antarperpustakaan. Komunikasi juga dapat terjadi antarlembaga informasi lainnya baik di dalam maupun di luar negeri.

Teknologi jaringan komputer semakin merebak di tingkat nasional maupun internasional. Teknologi jaringan baik interanet maupun intranet memungkinkan kemudahan akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi. Pengaruh teknologi (terutama teknologi komputer dan telekomunikasi), ternyata sangat besar bagi perpustakaan. Telah disebutkan di atas bahwa pengaruh adanya perkembangan teknologi mengakibatkan munculnya tipe-tipe perpustakaan yang berbasis teknologi, antara lain perpustakaan kertas, perpustakaan terotomasi, dan perpustakaan elektronik. Selain ketiga tipe perpustakaan ada satu tipe lagi, yaitu perpustakaan hibrida. Perpustakaan ini merupakan perpustakaan peralihan antara terotomasi dan elektronik.

1. Perpustakaan Kertas (Paper Library) 

Perpustakaan dengan tipe seperti ini, teknik operasional (seperti pembelian, pengolahan, pengkatalogan dan sirkulasi) dan koleksi bahan pustaka (terutama teks) masih berbasis pada kertas dan karton. Boleh dikatakan, perpustakaan jenis ini masih menyimpan koleksi bahan pustaka dari kertas, ada juga koleksi selain kertas, misalnya clay tablets, vellum, film dengan frekuensi yang sangat sedikit. Layanan yang dijalankan pada perpustakaan kertas pun masih seperti perpustakaan-perpustakaan di Indonesia pada umumnya, sebelum muncul teknologi informasi.

2. Perpustakaan Terotomasi (Automated Library) 

Penerapan teknologi informasi terutama teknologi komputer untuk kepentingan perpustakaan sehingga yang terotomasi adalah teknik operasional perpustakaan, seperti pengadaan, sirkulasi, pengolahan, serta keperluan administrasi perpustakaan. Sementara itu bahan pustaka masih berbentuk kertas sebagai medianya.

3. Perpustakaan Elektronik (Electronic Library) 

Tipe perpustakaan elektronik baik bahan pustaka maupun teknik operasional perpustakaan berubah ke bentuk elektronik. 

Konsep perpustakaan elektronik bahan pustaka yang tersedia dalam bentuk terbacakan mesin (machine readable), pemakai akan berminat untuk mengakses secara langsung dan keinginan akses akan tersedia. Secara spekulatif seseorang dapat menyeimbangkan antara bahan pustaka kertas dengan elektronik apabila dikehendaki, seseorang dapat mengubah menjadi perpustakaan tanpa kertas (paperless libraries). Namun, masalah ini sesungguhnya tidak signifikan apabila diperbandingkan dengan asumsi akses terhadap bahan pustaka elektronik yang direncanakan akan selalu tersedia. Saat ini, perpustakaan sudah mulai menjadi “Perpustakaan Terotomasi” yang diharapkan tidak terlalu lama menuju ke “Perpustakaan Elektronik”.

Perubahan operasional perpustakaan menjadi berbasis komputer serta ketersediaan bahan pustaka elektronik menunjukkan perubahan yang radikal terutama dalam pelayanan perpustakaan. Bentuk/wujud bahan pustaka elektronik sangat berbeda dengan bahan pustaka cetak dengan media kertas dan bentuk mikro. Perpustakaan yang mempunyai koleksi bahan pustaka dalam bentuk elektronik bertujuan penyebaran informasi untuk kalangan yang lebih luas karena tipe perpustakaan, seperti ini koleksinya dapat diakses dengan cara berikut ini. a. Jarak jauh. b. Lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan. c. Untuk lebih dari satu kepentingan.

Sebenarnya perpustakaan elektronik itu merupakan sebuah jaringan kerja, apalagi dengan cara akses koleksi, seperti tersebut di atas. Apabila suatu perpustakaan akan mengembangkan menjadi perpustakaan elektronik, harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain (Saptari, 2004) berikut ini.
  1. Interaksi dan sirkulasi perpustakaan. Pertimbangannya pengguna dapat berinteraksi keseluruh jaringan atau hanya perpustakaan tertentu.
  2. Mata rantai pemakai/pengguna, yaitu mata rantai komunikasi perpustakaan dengan pemakai. Pertimbangan yang perlu diambil adalah pengguna langsung datang atau menggunakan berbagai media komunikasi yang ada, seperti telepon dan email.
  3. Mengatur distribusi dana. Perlu dikembangkan kebijakan mengenai titik jasa atau perpustakaan elektronik yang bertanggung jawab atas sumber serta bagaimana cara sumber tersebut dimanfaatkan pihak lain. Ini menyangkut pembiayaan sumber informasi dan pembagian dana untuk perpustakaan anggota jaringan.
  4. Bentuk jaringan. Bentuk jaringan yang akan dilaksanakan berdasarkan sistem perpustakaan dewasa yang ada atau mencari sistem lain.
Untuk lebih memperjelas perbedaan dari ketiga tipe elektronik di atas baca tabel berikut. 

Tabel Kegiatan Perpustakaan berbasis Teknologi dan Bahan Pustaka

  • [tab]
    • Tipe 
      • Perpustakaan Kertas
        Perpustakaan Terotomasi
        Perpustakaan Elektronik
    • Teknik Operasional 
      • Kertas
        Komputer
        Komputer
    • Bahan Pustaka
      • Kertas Kertas
        Kertas
        Media Elektronik
Dalam proses pengembangan perpustakaan, ada saat masa transisi. Pada masa ini pengembangan dari tipe “perpustakaan tradisional” yang berbasis koleksi cetak (hardcopy) ke tipe “perpustakaan baru” berbasis informasi elektronik. Perpustakaan masa transisi dikenal dengan Perpustakaan Hibrida (The Hybrid Library).

Perpustakaan hibrida adalah perpaduan antara “perpustakaan baru” berbasis informasi elektronik dengan “perpustakaan tradisional” yang berbasis informasi cetak. Keduanya saling berdampingan dan bersama-sama secara terintegrasi dalam memberikan layanan informasi. Akses yang disediakan dapat melalui pintu gerbang elektronik yang tersambung dengan internet (LAN) maupun sebagaimana layaknya perpustakaan tradisional. Berikut perbedaan perpustakaan hibrida dengan tipe perpustakaan yang tersedia pada situs web (website). Pertama, disatu sisi informasi dalam bentuk cetak tetap dipertahankan dan disisi lain sumber informasi dalam bentuk elektronik mulai disediakan. Kedua, berusaha memusatkan perhatian dan memberikan layanan pada pemakai secara utuh baik “subjek spesifik maupun umum” untuk kelompok pemakai tertentu.

Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid Library) dipopulerkan oleh UK Electronic Libraries Program (eL.Lib). Sementara orang menyatakan bahwa perpustakaan hibrida merupakan masa transisi antara perpustakaan tradisional dengan digital (Sutton, 1996; Oppenheim and Smithson, 1999; Rusbridge, 1998), sementara yang lain menyebutnya sebagai model yang masuk akal, merupakan modal awal yang luar biasa dari sumber informasi cetak menuju perubahan budaya yang dituntut untuk menuju ke penyebaran informasi digital yang sesungguhnya.

Di Indonesia, perpustakaan hibrida lebih dikenal dengan perpustakaan alternatif sehingga muncul istilah kepustakawanan alternatif yang diperkenalkan oleh Meiling Simanjuntak (1996), dikatakan bahwa peran pustakawan dalam masyarakat adalah memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber informasi demi keuntungan masyarakat sendiri. Dengan kata lain, fungsi pustakawan adalah menjadi mediator antara masyarakat dan sumber-sumber informasi, bukan hanya buku, tetapi termasuk sumber-sumber informasi dalam media lain. Tujuan perpustakaan alternatif adalah untuk menghubungkan masyarakat dengan pengetahuan terekam (sumber informasi) dengan cara yang sebaik mungkin (Gapen). Sebagai mediator antara masyarakat dan sumber informasi, peran pustakawan dalam menjalankan tugasnya saling terkait dan saling memengaruhi dengan media informasi yang tersedia. Telah dibicarakan di depan, kehadiran media elektronik sebagai alternatif bagi media cetak memengaruhi cara-cara pustakawan menjalankan perannya agar tetap maksimal, tetapi perlu diingat bahwa media cetak belum dan tidak akan tergantikan oleh media elektronik. Keduanya masih terus akan berdampingan, saling melengkapi meskipun tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan media elektronik sangat cepat dan akan memengaruhi dominasi kertas sebagai media informasi. Oleh sebab itu, kepustakawanan yang berlandaskan kertas masih tetap dibutuhkan, tetapi pada saat yang sama, kepustakawanan virtual dan digital semakin diperlukan.

Pustakawan perlu menyadari bahwa perlu ditumbuhkan suatu jenis kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang memang masih dibutuhkan. Kepustakawanan alternatif yang dapat menangkal marginalisasi pustakawan ini harus menjadi bagian dari perkembangan kepustakawanan konvensional dan tetap menyadari bahwa kemampuan maupun level digitalisasi dan virtualisasi berbeda-beda antarperpustakaan. Sebagian perpustakaan di Indonesia masih harus beroperasi apa adanya, sebagian lagi berpotensi untuk bergabung dengan perpustakaan jaringan dan memanfaatkan internet sebagai alat komunikasi. Hanya sebagian kecil yang sudah mampu memanfaatkan internet sebagai alat komunikasi interaktif sehingga dapat merambah/menembus ribuan pusat informasi dalam memenuhi kebutuhan pemakainya, sedangkan sebagian kecil lainnya dapat memainkan peran penting untuk meningkatkan unjuk kerja perpustakaan Indonesia secara umum dengan menyediakan diri sebagai penyambung antara perpustakaan yang belum dan yang sudah virtual.

Kepustakawanan alternatif perlu menciptakan dasar-dasar perpustakaan virtual yang memungkinkan pustakawan konvensional mengakses informasi elektronik dengan mudah, tanpa menjadi pakar teknologi, mengupayakan digitalisasi informasi ilmiah yang banyak dibutuhkan (lowly), dan mengupayakan hubungan terpasang (online), pulsa murah antara perpustakaan kecil dengan perpustakaan besar. Dengan upaya-upaya ini, kesenjangan informasi diharapkan tidak akan terlalu lebar dan masyarakat tidak jatuh pada kesenjangan baru, yaitu kaya informasi dan miskin informasi.

4. Perpustakaan Komunitas

Sejak zaman dahulu hingga sekarang tujuan perpustakaan selalu identik dengan tujuan masyarakat. Hal ini terjadi karena perpustakaan merupakan hasil ciptaan masyarakat, bukan sebaliknya. Sepanjang sejarah, perpustakaan selalu membantu penyebarluasan pendidikan dengan cara menyediakan kemudahan belajar. Hubungan yang erat antara masyarakat dengan perpustakaan juga nampak pada gedung perpustakaan. Perpustakaan dianggap pranata penting sehingga orang-orang pada zaman dahulu selalu menempatkan perpustakaan di kuil, istana, biara, atau katedral serta tempat lain yang dianggap penting. Hal tersebut mencerminkan pentingnya perpustakaan sebagai hasil ciptaan masyarakat.

Karena perpustakaan diciptakan masyarakat, masyarakat pun berusaha memelihara hasil karyanya. Hal ini dalam sejarah perpustakaan, gangguan terhadap perpustakaan lebih banyak berasal dari luar perpustakaan, misalnya dari revolusi, gejolak politik, maupun pertentangan agama. Di Indonesia, pada tahun 1960-an terjadi pembakaran oleh PKI terhadap majalah dan buku yang dianggap ciptaan neokolonialisme dan imperialisme maupun karya pengarang yang tergabung dalam kelompok Manifesto Kebudayaan. Tindakan pembakaran ini dibantah oleh terbitnya buku Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku, oleh Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, penerbit Merekesumba, Jogjakarta, Oktober 2008. Namun, buku ini dilarang beredar. Pemerintah masih melarang buku yang dianggapnya mengajarkan Marxisme, Leninisme dan Komunisme, padahal kalau dilihat dari isinya bisa bertolak belakang dengan dugaan penguasa.

Pada 20 Juli 2009 terjadi tindakan yang ironis, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah, bahan pelajaran sekolah menengah pertama dan atas, karya guru-guru sejarah. Pembakaran ini dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Bambang Bachtiar, Kepala Dinas Pendidikan Asep Roswanda dan Walikota Nurmahmudi Ismail.

Penyitaan maupun pembakaran buku-buku sejarah ini juga terjadi di Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Pontianak, Purwakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Dasar hukumnya, menurut para jaksa, adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2009 di mana Kejaksaan Agung melarang buku-buku itu yang dibuat dengan dasar kurikulum pendidikan tahun 2004. Mereka dituduh tak mencantumkan kata "PKI" dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965. Penelitian terhadap isi buku-buku sejarah itu dilakukan Kejaksaan Agung atas permintaan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo.

Sepanjang sejarah selalu ada usaha untuk menghancurkan buku yang disimpan di perpustakaan. Sebaliknya pula, masyarakat pun berusaha mengamankan perpustakaan. Secara fisik, pengamanan perpustakaan kuno dilakukan dengan menempatkan perpustakaan (baca buku) dibagian yang aman pada sebuah kuil atau istana. Kuil atau istana merupakan bangunan yang kokoh sehingga buku akan lebih aman disimpan di tempat tersebut daripada di tempat lain. Dalam berbagai gejolak sosial maupun revolusi, keberadaan perpustakaan selalu tidak dilupakan masyarakat. Di Indonesia, semasa pendudukan Jepang (1942-1945), tindakan pertama bala tentara Jepang ialah mengamankan koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschap di Batavia (kini Jakarta). Koleksi ini kelak menjadi inti Perpustakaan Nasional RI. Sebelum itu, ketika Majapahit runtuh, bangsawan maupun biarawan menyelamatkan berbagai naskah kuno ke tempat lain.

Dari uraian di atas, Anda dapat menyimpulkan bahwa kekuasaan di luar perpustakaan dapat merupakan kekuatan yang dapat menghancurkan perpustakaan. Sebaliknya pula, masyarakat (merupakan kekuatan di luar perpustakaan namun perpustakaan merupakan bagian darinya) pulalah yang menciptakan sekaligus memelihara perpustakaan. Gejala yang muncul saat ini adalah tumbuhnya berbagai perpustakaan komunitas.

Dessy Sekar Astina pegiat dunia literasi dan Direktur Program Forum Indonesia Membaca, menurunkan artikelnya “ Perpustakaan Komunitas dan perkembangannya” di posted on: October, 29th 2007

(http://ypr.or.id/id/posting/perpustakaan-komunitas-dan-perkembangannya.html. 04-01-2010) menyatakan: “Pemerintah Kota Yogyakarta mensubsidi perpustakaan komunitas Rp500 juta” (Suara Merdeka, 28/02/08) yang diserahkan kepada 110 perpustakaan sebagai bagian pencanangan gerakan 1000 perpustakaan di tiap RW atau kampung. Ini tentu saja menjadi angin segar bagi para penggiat dunia literasi khususnya di kota Yogyakarta. Namun seberapa besarkah efektivitas gerakan ini di tengah wabah pendirian perpustakaan komunitas? Mari kita simak gambar besarnya.

Adalah hal yang ideal apabila kemajuan peradaban bangsa dibangun oleh struktur masyarakat madani dengan basis pendidikan yang mumpuni sehingga memungkinkan masyarakat untuk mengetahui lebih jauh hak, kewajiban dan apa yang selanjutnya bisa dilakukan untuk dirinya dan bangsanya. Salah satu media menuju masyarakat madani adalah keberadaan komunitas. Perpustakaan komunitas adalah sebuah tempat dimana masyarakat berkumpul secara aktif bersama-sama melalui berbagai macam proses, yang melibatkan lingkungannya dalam mendisain, membuat perubahan dan belajar dari proses yang dijalaninya serta menciptakan kepemilikan lokal dalam berbagi jalan keluar dan tanggung jawab hingga membentuk jejaring yang kuat.

Perpustakaan komunitas atau taman bacaan masyarakat banyak yang tumbuh sesaat bagai cendawan dimusim hujan. Hanyalah sekedar latah dan melihat peluang besar untuk memperoleh kucuran dana baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Biasanya setelah bantuan berakhir maka habislah kegiatan tersebut atau tetap bertahan jika para pengelolanya cukup kreatif mencari bantuan pendanaan lainnya. Ini hal yang ironis tentunya.

Perpustakaan komunitas yang dibangun oleh para pegiat dunia literasi biasanya difokuskan pada anak-anak dan remaja “para pemeluk masa depan” dan dibiayai oleh perorangan, kelompok maupun pihak-pihak lain yang peduli dalam pengembangan aktivitas literasi sehingga terkesan bersahaja. Namun, dibalik kesederhanaannya penuh dengan segudang ide dan kreativitas yang informatif, mendidik dan menghibur.

Pembentukan perpustakaan komunitas bisa dimulai dimana saja setiap saat. Ruang tamu, beranda rumah, teras belakang, pos ronda, kebun kosong bahkan trotoar bisa dimanfaatkan sebagai area perpustakaan. Pengadaan koleksi bisa dimulai dari koleksi pribadi dan atau mengumpulkan dari rumah-rumah dilingkungan sekitar perpustakaan. Pengelolaan perpustakaan bisa dilakukan oleh pemiliknya langsung atau dilakukan bersama-sama oleh anggota komunitas bahkan anak-anak bisa dididik untuk juga berperan menjadi pustakawan cilik sehingga menjadi kegiatan dan kepemilikan bersama. Pilihan aktivitas dan peran bisa didiskusikan dan dievaluasi bersama sehingga perpustakaan ini bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya.

Salah satu perpustakaan komunitas yang berhasil bertahan dan berkembang adalah Rumah Dunia yang digagas tahun 2002 oleh Gola Gong dan Tias Tatanka, dibangun di kebun belakang rumah. Saat ini dikomandoi oleh Firman Venayaksa telah berkembang menjadi pusat aktivitas literasi tidak hanya bagi warga Ciloang bahkan dari kota kabupaten lain seperti Serang, Pandeglang dan Merak. Rumah Dunia mengembangkan kegiatan literasi secara rutin sehingga para relawan dapat meningkatkan keahlian bahkan menelurkan banyak penulis dan jurnalis baru.

Sering kali perpustakaan jarang dikunjungi oleh masyarakat dengan berbagai alasan namun yang paling sering ditunding adalah rendahnya minat baca masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut tentang minat baca, mungkin kita perlu tahu apa arti minat baca. Minat baca (reading interest) adalah kecenderungan pilihan seseorang terhadap sumber bacaan. Pemilihan ini bisa dilakukan berdasarkan format bahan bacaan (buku, majalah, koran, komik, e-book, dan lain-lain), jenis (fiksi atau nonfiksi), subyek (biografi, sejarah, seni, sastra), genre, pengarang, usia, jenis kelamin dan sebagainya. Sedangkan budaya baca adalah sikap dan tindakan atau perbuatan untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau budaya. Minat baca muncul ketika seseorang telah memiliki kemampuan membaca, sedangkan budaya baca terpelihara bila bahan baca terjangkau dan jenis yang tersedia sesuai dengan minat pembacanya. Budaya baca dapat terwujud baik karena keinginan pribadi maupun bentukan lingkungan yang kondusif.

Kemampuan literasi (dalam makna sempit adalah membaca dan menulis) merupakan piranti seseorang untuk meningkatkan kualitas hidup, dimana kemampuan ini bisa diasah melalui kegiatan di perpustakaan komunitas. Bila hal ini telah disadari maka keberadaan perpustakaan akan makin berkembang, menjadi kepemilikan masyarakat setempat serta bertahan mengarungi waktu.

Oleh: Drs. Purwono, M.Si.
Ilmu Pengetahuan Perpustakaan 5947706342382400045

Catat Ulasan

Anda bisa menyisipkan komentar gambar atau video, menggunakan:

[video]youtubelink[/video]
[img]imagelink[/img]

emo-but-icon

Laman utama item

Bacaan lainnya